Minggu, 19 September 2010

ORANG KAYA YANG BERSYUKUR ORANG MISKIN YANG SABAR

Inilah yang mungkin sering diperselisihkan oleh orang kaya dan orang miskin. Setiap golongan pun menyampaikan argumennya masing-masing. Tiap argumen yang disampaikan tidak mungkin ditolak karena sama-sama berlandaskan pada Al Qur’an, As Sunnah dan perkataan sahabat.

Imam Ahmad rahimahullah juga memiliki dua pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama: orang kaya yang pandai bersyukur lebih utama. Pendapat kedua: orang miskin yang selalu bersabar lebih utama.

Di antara para ulama yang menyatakan bahwa orang miskin yang sabar lebih utama beralasan: orang miskin lebih cepat dihisab di akhirat nanti daripada orang kaya. Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa orang kaya yang pandai bersyukur lebih utama beralasan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu meminta pada Allah agar diberi sifat ghina (kaya, merasa cukup dari apa yang ada di hadapan manusia).

Pendapat yang Lebih Tepat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan mengenai keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat memuaskan, “Yang paling afdhol (utama) di antara keduanya adalah yang paling bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam taqwa, maka berarti mereka sama derajatnya.” (Badai’ul Fawaidh, 3/683). Itu pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Al Furqon hal. 67.

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Menurut para peneliti dan ahli ilmu bahwa keutamaan di antara orang kaya dan orang miskin tidak kembali pada miskin atau pun kayanya. Namun itu semua kembali pada amalan, keadaan, dan hakikatnya. … Keutamaan di antara keduanya di sisi Allah dilihat dari ketakwan, hakikat iman, bukan dilihat dari miskin atau kayanya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)

Dalam ayat ini, Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling kaya di antara kalian atau yang paling miskin di antara kalian.” (Madarijus Salikin, 2/442)

Dalam shohih Bukhari dan Muslim, terdapat riwayat dari Abu Hurairah,

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ قَالَ « أَتْقَاهُمْ » . فَقَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَيُوسُفُ نَبِىُّ اللَّهِ ابْنُ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونَ خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا »

Ada yang mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling mulia?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling bertakwa.”

Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “(Yang paling mulia adalah) Yusuf, Nabi Allah. Dia anak dari Nabi Allah (Ya’qub). Dia cucu dari Nabi Allah (Ishaq). Dan dia adalah keturunan kekasih Allah (Ibrahim).”

Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah mengenai barang tambang Arab yang kalian tanyakan? (Manusia adalah barang tambang), yang paling baik di antara mereka di masa Jahiliyah adalah yang paling baik di antara mereka di masa Islam, namun jika mereka memiliki ilmu.”

Semoga Allah memberi kita sifat taqwa, sifat ‘afaf (yang selalu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik) dan memberikan kita sifat ghina (merasa cukup dari apa yang ada di hadapan manusia). Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Rujukan:

1. Al Furqon Baina Awliya’ir Rohman wa Awliya’isy Syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Maktabah Ar Rusyd
2. Badai’ul Fawaidh, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Asy Syamilah
3. Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Asy Syamilah

***

Penulis:Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

DOSA MENINGGALKAN SHALAT LIMA WAKTU

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Bisa Kafir alias Bukan Muslim?

Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?

Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).

Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an

Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir

Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

Penutup

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12)

Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“

Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah, 35-36)

Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

HUKUM BERDO'A DENGAN BAHASA ARAB

Seringkali ada yang mengajukan pertanyaan, “Bolehkah berdo’a dengan bahasa non Arab?”

Semoga penjelasan berikut bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Berdo’a dengan Bahasa Non Arab

Syaikh Sholih Al Munajid hafizhohullah dalam situs beliau Al Islam Sual wa Jawab memberikan penjelasan,

“Jika orang yang shalat mampu berdoa dengan bahasa Arab, maka ia tidak boleh berdo’a dengan bahasa selainnya. Namun jika orang yang shalat tersebut tidak mampu berdo’a dengan bahasa Arab, maka tidak mengapa ia berdo’a dengan bahasa yang ia pahami sambil ia terus mempelajari bahasa Arab (agar semakin baik ibadahnya, -pen).

Adapun do’a di luar shalat, maka tidak mengapa menggunakan bahasa non Arab. Seperti ini sama sekali tidak ada masalah lebih-lebih lagi jika hatinya semakin hadir (semakin memahami) do’a yang ia panjatkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,

وَالدُّعَاءُ يَجُوزُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَبِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ قَصْدَ الدَّاعِي وَمُرَادَهُ وَإِنْ لَمْ يُقَوِّمْ لِسَانَهُ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ ضَجِيجَ الْأَصْوَاتِ بِاخْتِلَافِ اللُّغَاتِ عَلَى تَنَوُّعِ الْحَاجَاتِ .

“Berdo’a boleh dengan bahasa Arab dan bahasa non Arab. Allah subhanahu wa ta’ala tentu saja mengetahui setiap maksud hamba walaupun lisannya pun tidak bisa menyuarakan. Allah Maha Mengetahui setiap do’a dalam berbagai bahasa pun itu dan Dia pun Maha Mengetahui setiap kebutuhan yang dipanjatkan”[1].”[2]

Do’a Al Qur’an dan As Sunnah, Do’a Terbaik

Do’a terbaik tentu saja do’a yang disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika memanjatkan do’a semacam ini, kita akan mendapatkan kebaikan yang amat banyak, tidak sebatas pada yang kita minta saja. Begitu pula kita nantinya tidak salah meminta karena tidak sedikit yang salah meminta dalam do’anya. Do’a dari Al Qur’an dan Hadits pun tidak membuat kita salah dalam mengucap sehingga salah makna.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

وَيَنْبَغِي لِلْخَلْقِ أَنْ يَدْعُوا بِالْأَدْعِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا رَيْبَ فِي فَضْلِهِ وَحُسْنِهِ وَأَنَّهُ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ صِرَاطُ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا .

“Sudah sepatutnya setiap hamba berdo’a dengan do’a yang syar’i yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Karena do’a yang berasal dari keduanya tidak diragukan lagi keutamaannya dan kebaikannya. Do’a yang ada pada keduanya termasuk doa’ para Nabi, para shidiqin, para syuhada’, orang-orang sholih yang menjadi teman terbaik yang tentu berada di jalan yang lurus. ”[3]

Praktekkan Do’a Sederhana Namun Maknanya Luar Biasa

Begitu banyak do’a dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang mengandung makna yang luar biasa sebagaimana do’a sapu jagad berikut.

رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqinaa ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari adzab Neraka] (QS. Al Baqarah: 201)

Coba perhatikan dengan seksama bagaimana penjelasan Ibnu Katsir mengenai do’a tersebut. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

“Do’a ini sungguh telah mencakup permintaan seluruh kebaikan di dunia dan terhindar dari setiap kejelekan. Permintaan kebaikan di dunia yang dimaksudkan dalam do’a ini mencakup nikmat sehat, rumah yang lapang, istri yang penuh dengan kebaikan, rizki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal sholih, kendaraan yang menyenangkan, pujian yang baik serta kebaikan-kebaikan lainnya dengan berbagai ungkapan dari pakar tafsir yang tidak saling bertentangan satu dan lainnya. Semua yang disebutkan ini tercakup dalam kebaikan dunia.

Adapun kebaikan di akhirat yang diminta dalam do’a ini tentu saja lebih tinggi dari kebaikan di dunia yaitu dimasukkannya ke dalam surga, dibebaskan dari rasa khawatir (takut) dari berbagai kesulitan dan diberi kemudahan dalam hisab (perhitungan amalan) di akhirat serta berbagai kebaikan di akhirat.

Adapun permintaan diselamatkan dari siksa neraka mengandung permintaan agar kita dibebaskan dari berbagai sebab dunia yang menjerumuskan ke dalam neraka yaitu dengan dijauhkan dari berbagai perbuatan yang haram dan dosa, dan diberi petunjuk untuk meninggalkan hal-hal syubhat (yang masih samar/abu-abu) dan hal-hal yang haram.

Inilah penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat Al Baqarah ayat 201. [4]

Begitu luar biasa dan ampuhnya do’a sapu jagad ini, begitu ringkas, namun makna yang dikandung begitu dalam. Itulah do’a yang seharusnya bisa kita rutinkan.

Terakhir

Sudah sepatutnya do’a yang dipanjatkan dipahami maknanya. Karena hati yang memahami isi do’a tentu saja do’anya akan lebih didengar dan dikabulkan daripada hati yang lalai. Oleh karena itu, setiap do’a yang dipanjatkan hendaknya dipahami artinya sehingga bisa lebih diresapi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Semoga yang singkat ini bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com

HUKUM BERDO'A DENGAN BAHASA ARAB

Seringkali ada yang mengajukan pertanyaan, “Bolehkah berdo’a dengan bahasa non Arab?”

Semoga penjelasan berikut bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Berdo’a dengan Bahasa Non Arab

Syaikh Sholih Al Munajid hafizhohullah dalam situs beliau Al Islam Sual wa Jawab memberikan penjelasan,

“Jika orang yang shalat mampu berdoa dengan bahasa Arab, maka ia tidak boleh berdo’a dengan bahasa selainnya. Namun jika orang yang shalat tersebut tidak mampu berdo’a dengan bahasa Arab, maka tidak mengapa ia berdo’a dengan bahasa yang ia pahami sambil ia terus mempelajari bahasa Arab (agar semakin baik ibadahnya, -pen).

Adapun do’a di luar shalat, maka tidak mengapa menggunakan bahasa non Arab. Seperti ini sama sekali tidak ada masalah lebih-lebih lagi jika hatinya semakin hadir (semakin memahami) do’a yang ia panjatkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,

وَالدُّعَاءُ يَجُوزُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَبِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ قَصْدَ الدَّاعِي وَمُرَادَهُ وَإِنْ لَمْ يُقَوِّمْ لِسَانَهُ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ ضَجِيجَ الْأَصْوَاتِ بِاخْتِلَافِ اللُّغَاتِ عَلَى تَنَوُّعِ الْحَاجَاتِ .

“Berdo’a boleh dengan bahasa Arab dan bahasa non Arab. Allah subhanahu wa ta’ala tentu saja mengetahui setiap maksud hamba walaupun lisannya pun tidak bisa menyuarakan. Allah Maha Mengetahui setiap do’a dalam berbagai bahasa pun itu dan Dia pun Maha Mengetahui setiap kebutuhan yang dipanjatkan”[1].”[2]

Do’a Al Qur’an dan As Sunnah, Do’a Terbaik

Do’a terbaik tentu saja do’a yang disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika memanjatkan do’a semacam ini, kita akan mendapatkan kebaikan yang amat banyak, tidak sebatas pada yang kita minta saja. Begitu pula kita nantinya tidak salah meminta karena tidak sedikit yang salah meminta dalam do’anya. Do’a dari Al Qur’an dan Hadits pun tidak membuat kita salah dalam mengucap sehingga salah makna.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

وَيَنْبَغِي لِلْخَلْقِ أَنْ يَدْعُوا بِالْأَدْعِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا رَيْبَ فِي فَضْلِهِ وَحُسْنِهِ وَأَنَّهُ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ صِرَاطُ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا .

“Sudah sepatutnya setiap hamba berdo’a dengan do’a yang syar’i yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Karena do’a yang berasal dari keduanya tidak diragukan lagi keutamaannya dan kebaikannya. Do’a yang ada pada keduanya termasuk doa’ para Nabi, para shidiqin, para syuhada’, orang-orang sholih yang menjadi teman terbaik yang tentu berada di jalan yang lurus. ”[3]

Praktekkan Do’a Sederhana Namun Maknanya Luar Biasa

Begitu banyak do’a dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang mengandung makna yang luar biasa sebagaimana do’a sapu jagad berikut.

رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqinaa ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari adzab Neraka] (QS. Al Baqarah: 201)

Coba perhatikan dengan seksama bagaimana penjelasan Ibnu Katsir mengenai do’a tersebut. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

“Do’a ini sungguh telah mencakup permintaan seluruh kebaikan di dunia dan terhindar dari setiap kejelekan. Permintaan kebaikan di dunia yang dimaksudkan dalam do’a ini mencakup nikmat sehat, rumah yang lapang, istri yang penuh dengan kebaikan, rizki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal sholih, kendaraan yang menyenangkan, pujian yang baik serta kebaikan-kebaikan lainnya dengan berbagai ungkapan dari pakar tafsir yang tidak saling bertentangan satu dan lainnya. Semua yang disebutkan ini tercakup dalam kebaikan dunia.

Adapun kebaikan di akhirat yang diminta dalam do’a ini tentu saja lebih tinggi dari kebaikan di dunia yaitu dimasukkannya ke dalam surga, dibebaskan dari rasa khawatir (takut) dari berbagai kesulitan dan diberi kemudahan dalam hisab (perhitungan amalan) di akhirat serta berbagai kebaikan di akhirat.

Adapun permintaan diselamatkan dari siksa neraka mengandung permintaan agar kita dibebaskan dari berbagai sebab dunia yang menjerumuskan ke dalam neraka yaitu dengan dijauhkan dari berbagai perbuatan yang haram dan dosa, dan diberi petunjuk untuk meninggalkan hal-hal syubhat (yang masih samar/abu-abu) dan hal-hal yang haram.

Inilah penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat Al Baqarah ayat 201. [4]

Begitu luar biasa dan ampuhnya do’a sapu jagad ini, begitu ringkas, namun makna yang dikandung begitu dalam. Itulah do’a yang seharusnya bisa kita rutinkan.

Terakhir

Sudah sepatutnya do’a yang dipanjatkan dipahami maknanya. Karena hati yang memahami isi do’a tentu saja do’anya akan lebih didengar dan dikabulkan daripada hati yang lalai. Oleh karena itu, setiap do’a yang dipanjatkan hendaknya dipahami artinya sehingga bisa lebih diresapi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Semoga yang singkat ini bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com